Berehat Seketika


Penulis ingin berkongsi satu sajak yang ditulis oleh rakan baik penulis, Wan Aimran, untuk sama-sama kita hayati, insyaALLAH.
Aku ingin kembara
Mengimbas sejarah
Menelusuri kisah
Cerita yang mengatasi
segala cerita
Ingin ku selami satu persatu peristiwa
ingin ku perah setiap titis pengajaran
Semuanya kerana
Ku ingin bergerak
melangkah ke hadapan
Wadah ini dimulai
dengan sampaian salamku
ke bumi suci Mekah.
Berpaksikan Kaabah
Dipenuhi kasih Rasulullah
Masih ku dengari sayup-sayup
tapak kaki Baginda
Masih ku rasai
kesejatian kesetiaan para sahabat
Masih ku lihat
Lautan manusia mengerumuni
Menyahut seruan
Menyambut panggilan
Maha Pencipta yang tidak
punya sekutu.
Setelah iman dimantapkan
ikatan akidah diyakinkan
hubungan dengan Ilahi dieratkan
kini ku melangkah berhijrah
menjejak kaki di Madinah
Di sini ukhwah dibina
Di sini perselisihan diratakan
Di sini kekukuhan dilahirkan
Kepercayaan yang telah sekian lama
dicetus di dalam hati
Dikumpul, diusap dan dibentuk
hingga menjadi gagasan
umat Islam yang murni lagi terpuji.
Di sinilah tujuan dan matlamat dipaku
Di sinilah harapan dan cita-cita ditambat
Dan di sinilah
cahaya keIslaman mula dinyalakan
bara keImanan mula disemarakkan.
Persaudaraan yang telah disempurnakan
kemudiannya
memfokus azam membakar semangat
Islam mengorak langkah
melampaui batas sempadan
Ke barat
Amar Al-As merisik Mesir
lalu membawa khabar gembira
ke bandar Cairo.
Manakala ke timur
Khalid Al-Walid menundukkan Parsi
menyerap dan mengasimilasi
ilmu ketamadunan bangsa terdahulu.
Di utara pula
Umar Al-Khattab disambut Jerusalem
Lantas membuka pintu rahmat
ke tanah keramat para anbia’
Tempat agung bagi semua
yang bergurukan Nabi Ibrahim.
Akhirnya
apa yang bermula
di ceruk pedalaman Tanah Arab
telah berjaya memayungi
serata pelusuk dunia
Empayar demi empayar dibina
Di Damascus yang bersejarah
Di Baghdad yang bergemerlapan
Di Cordoba yang bertenaga
Di Isfahan yang berpendirian
Di Istanbul yang berkekalan.
Kesemuanya tunduk
kepada yang telah dibina
di kota Madinah
Setiap satu melaungkan bahawa
merekalah yang abadi!
merekalah yang unggul!
merekalah yang pasti!
merekalah yang tulen!
Sehingga kini
jerit teriak masih kedengaran
dari Kota Bharu ke Putrajaya
dari Turki ke Indonesia
malahan
London, Paris, Washington juga
ingin turut serta!
Masing-masing menyoal dan dipersoal
Setiap satu mengakui dan menyalahi
“Islamku lebih benar, lebih bagus dari Islammu!”
Ketauhidan yang dijulang
Hanya sekadar tempelan di hati
dan tidak disusuli
oleh tindak tanduk amal
Keadilan yang diwar-warkan
Hanya sekadar membasahi bibir
dan tidak disertai
oleh keberanian berakal
Kesejagatan ummah yang dikagumi
Hanya sekadar dipegang
asal kepentingan diri terpelihara
Islam yang seharusnya
universal, lengkap, terus-menerus
kini
banyak bersyarat
kerap berkonflik
pantang bersatu
liat bertindak.
Dimanakah pincangnya?
Kekalutan apakah yang menjangkiti?
Keserabutan apakah yang perlu diatasi?
Kezaliman apakah yang harus ditangani?
Kehilangan apakah yang cuba dikembali?
Adakah ia mengidami pemimpin yang maksum dan agung?
Adakah ia mengharapkan kesamaan pendapat dan mazhab?
Adakah ia mengingini panduan ulama yang tradisional namun liberal?
Adakah ia menanti kembalinya Imam Mahdi di akhir zaman?
Sesungguhnya
aku hanya musafir lalu
Sekadar ingin meneroka
sejarah kebangkitan jatuh bangun umat ini
Telah ku perhati
bagaimana sinar Islam
dan pelita Iman di hati umat ini
ditransformasi
dimanifestasi
menjadi kekuatan dan kebijaksanaan
yang kesannya melangkaui
batas dunia yang fana ini.
Ku yakin bahawa umat ini
akan kelak dapat merasai sekali lagi
nikmat dan kemanisan mengabdikan diri
kepada Yang Esa
Sejarah bakal menjadi peta mereka
Berkompaskan keImanan
dan Islam sebagai tongkat sandaran.
Ku fikir arah tujunya
sudah tersedia
Apa yang ku tunggu
hanyalah
kesediaan para ulama
keberanian para pemimpin
dan ketaatan ummah
untuk
menongkah arus mengganjak paradigma
menerajui reformasi Islam!
-wanaimran-
The good old days - jzkk Adam Tan & Shakirin
Penulis (kanan) dan Wan Aimran (kiri)
Wallahua'lam
P/S: Tips untuk belajar : link
Sumber: http://wanaimran.wordpress.com/2008/07/03/slouching-towards-medina/
Bismillahirrahmanirrahim,
Penulis merasakan bahawa terdapat baiknya jika penulis berkongsi sesuatu yang pernah ditulis di blog iluvislam penulis, bagi mereka yang tidak pernah membacanya:
Was reading the book yesterday on liberalism, and how he explained that to have an understanding of universalism and relativism is much more ethnocentric than being plural or liberal. And I was thinking about how rights (which is attached to responsibilities) in Malaysia is rather ethnocentric. I’m not saying here that I’m against it or for it, but it is just an observation.
A liberal supporter’s website
Ethnocentrism, according to Wikipedia, is “the tendency to look at the world primarily from the perspective of one’s own culture.” That means, we try to judge people according to our standards, our logic, our understanding of the world. Relativists (people who adhere to relativism) are against this policy; they say that each culture needs to be understood on its own terms, that cultures have their own “internal logic”, as it is. But that assumes that cultures are entities which are separate, and that the boundaries of cultures are fixed and cannot be breached. In that case, it can always be said that cultures always borrow from one another, hence, their boundaries are porous, a worthy critique of relativism, I’d say.
But that discussion is of the philosophical type. Perhaps I will discuss some of the ideas later. Brother Wan Saiful of Malaysian Think Tank has said something of liberalism, and I think its worth reading for anyone who has no background on such things. What I was wondering is that in Malaysia, how is it that the discussion on “rights” seem to be very much ethnocentric, that people want other people to judge what they say from their perspective and their perspective only (a lack of empathy, perhaps?).
I was also reading a few things on article 153 of the Constitution, since that is what gives the Malays and the bumiputeras all these “bumiputera rights”, and from what I understand, the clause stated that the YDPA was responsible to safeguard the “special positions”, among others, of Malays and bumiputeras. There was not a sentence of “rights” as far as I know (please correct me if I’m wrong). So, I suppose its a question of interpretation; that “special positions” is interpreted as “rights”. That, in itself, is rather of interest, because the question is how long is such interpretation is valid? And who are the ones who are supposed to do the interpretation, and why them? But lets leave it at that. And if there are missing things that I don’t know off, such as where in the Constitution that it explicitly said things about the Malays, then pray do tell. I am interested to know in order to understand the situation.
A malay traditional house. Quite nice, in my view
Now, let us assume that the Malays and bumiputeras are given these rights in order to help them, in some ways or another. Let us take that as being true. I was discussing it with some of my acquaintances, and there were a few things on my mind that I needed help with. I can’t seem to answer any of these questions since my knowledge on politics, political philosophy and history of Malaysia if rather shallow. The questions that I came up and can’t answer are quite simple, I’d say.
1. How much “rights” is justifiable and justified for Malays?
2. How much taking away of rights is justifiable and justified for non Malays?
3. What does the “rights” of Malay entails the Malays to do? Meaning, if Malays are given these “rights”, then what responsibilities should they be carrying? - rights entail responsibility, don’t forget that
4. If Malays have not done their responsibilities to a certain degree of outcome (here, I will take a Utilitarian point of view, because it is much more pragmatic to do so. Whether it is justifiable or not is a different issue), then how will the justifications of such rights be justified again? An example, I have a right to not be killed (a negative right), therefore, I have a responsibility not to kill anyone. If I kill someone, I have revoked my right of not being killed. If this is true, and if the responsibilities have not been done satisfactorily, then it can be argued that Malays have lost the claim to such rights, I think.
5. Is it humane for us to claim such rights, even if it is justifiable? In what sense in what we are doing is acceptable as being “humane”? Or do we not care about humanity, but only the “welfare” of Malays?
6. What does “helping” constitute of? How do we define “giving help”?
7. Is it truly effective and efficient that we are helping the Malays by giving them all these “rights” and privileges? Is helping = giving and protecting “rights”?
NB: Justifiable and justifed are different things, in my mind. And therefore, should be treated as such. And if you like, substitute Malay with bumiputera, it doesn’t make that much of a difference.
An old picture of Malays with Dato’ Onn Jaafar (I think its him) at the centre
Perhaps the expert or non expert reader can help me with these questions. They are quite perplexing, and to be honest, quite important as well. Because if we say we have a right, then we have to justify why we have that right, and the limits of such rights. If not, then it will simply be tyranny. Legitimacy of such rights can also be questioned, in which case, it becomes harder for us to use these rights for our actions.
Wallahua’lam
Petikan dari Utusan Online:
KUALA LUMPUR 17 Sept. - Nazir Masjid Al-Ehsan Bandar Kinrara, Abdul Rahman Nasir mengesahkan pihaknya menerima petisyen bantahan mengenai penggunaan pembesar suara daripada 189 penduduk bukan Islam di kawasan tersebut.
Beliau berkata, petisyen yang diserahkan seorang lelaki itu antaranya menyentuh mengenai penggunaan pembesar suara sewaktu kuliah Subuh, Kuliah Maghrib dan bacaan al-Quran menggunakan kaset dan cakera padat sebelum sembahyang Subuh.
”Memang mereka tidak menyebut mengenai azan tetapi saya percaya petisyen yang dibuat pada Februari lalu ada kaitan dengannya.
”Penulis petisyen itu pandai, dia tidak akan sebut mengenai azan kerana tahu ia lebih sensitif,” katanya kepada Utusan Malaysia di Bandar Kinrara, Puchong dekat sini hari ini.
Pada 8 September lalu, bekas Menteri Besar Selangor, Datuk Seri Dr. Mohamad Khir Toyo mendedahkan wujud usaha pihak tertentu membuat petisyen membantah azan di Puchong dan Kota Damansara, Selangor.
Abdul Rahman berkata, petisyen tersebut kemudian diserahkan kepada Ahli Dewan Undangan Negeri Seri Serdang, Datuk Satim Diman dan ia tidak dihebahkan ke pengetahuan jemaah masjid bagi mengelakkan wujudnya perasaan tidak puas hati.
Katanya, pihaknya juga mengabaikan desakan dalam petisyen tersebut bagi mengelakkan Masjid Al-Ehsan menjadi bahan uji kaji pihak tertentu.
Sementara itu, beliau mendedahkan seorang pemimpin sebuah parti politik di Selangor telah menghubunginya semalam untuk mengadakan sidang akhbar menjelaskan isu petisyen itu.
Beliau bagaimanapun menolak cadangan tersebut kerana berpendapat isu berkaitan masjid tidak wajar dibincangkan menerusi platform politik.
Telah beberapa hari penulis berfikir dan berbincang mengenai berita ini, dan apa implikasi berita sebegini kepada pemikiran umat bukan Islam terhadap umat Islam, dan bagaimana pemikiran umat Islam yang sebegini boleh dilihat pada skala yang lebih luas.
Satu perkara yang merunsingkan penulis ialah bagaimana nazir itu seolah-olah mengetahui niat kesemua penanda tangan petisyen itu, dengan menyatakan bahawa yang beliau "percaya petisyen yang dibuat pada Februari lalu ada kaitan dengannya" (baca:azan). Beliau menambah bahawa ”Penulis petisyen itu pandai, dia tidak akan sebut mengenai azan kerana tahu ia lebih sensitif”. Pada fikiran penulis, pernyataan ini agak sombong dan sedikit kurang berhati-hati. Haruslah diingat bahawa petisyen itu ditandatangani oleh lebih 100 orang penduduk bukan Islam disekitar masjid tersebut, maka, apa yang ditulis oleh penulis petisyen itu dipersetujui oleh semua penduduk tersebut. Hebat sungguh nazir itu sehingga boleh percaya bahawa semua penanda tangan petisyen itu mempunyai agenda tersembunyi. Apa yang begitu 'pandai' dengan meminta kepada pihak masjid, setelah berbincang dengan pemimpin masyarakat disitu, untuk menurunkan kekuatan pembesar suara yang digunakan? Adakah umat Islam seharusnya bertindak atas perasaan 'saya percaya' ataupun reaksi paranoid yang merasakan bahawa semua umat bukan Islam tidak menyenangi apa yang umat Islam lakukan?
Jika saya menegur kawan saya mengatakan bahawa suara dari pembesar suara di biliknya mengganggu saya belajar, adakah itu salah, walaupun dia memasang ayat suci Al Quran? Azan hanya berlangsung selama 5-7 minit, tetapi ceramah agama boleh mengambil masa selama 30-45 minit. Andai seorang ibu mempunyai anak kecil yang mahu tidur pada ketika itu, tidakkah itu mengganggu ketenteraman umum? Apakah Islam mahu kita mengganggu ketenteraman umum? Apakah yang kita mahu capai dengan memasang pembesar suara dengan kuat? Kemungkinan orang lebih tidak mahu mendengar ceramah agama itu, dan menjauhkan diri dari masjid kerana mengganggu ketenteraman awam dari mendekatkan diri dari masjid.
'Sensitivity' kita terlalu tinggi, dan kita juga seolah-olah paranoid bahawa umat bukan Islam akan merampas segala-galanya dari kita, an kita membiarkan unsur-unsur ini menular kepada persepsi realiti kita.
Tetapi, adakah ini kes terpencil? Bagaimanakah reaksi kita, umat Islam, secara umum terhadap apa yang kita anggap sebagai perkara yang tidak patut dipersoalkan lagi?
Sebagai contoh, andai seorang bukan Islam mempersoalkan mengapa Islam, menurut interpretasi kebanyakan ulama', perlu menghukum mati orang yang murtad, berapa ramai antara kita yang akan berusaha untuk menjelaskan cara berfikir dan membuat hukum dalam Islam, dan seterusnya sedikit tentang perdebatan fekah dalam Islam dan tidak hanya melenting dan mengatakan bahawa ianya memang termaktub dalam hadis, dan perkara itu ialah perkara sensitif yang tidak patut dibincangkan? Andai kita diberitahu bahawa terdapat unsur-unsur sekularisme dan liberalisme dalam ajaran Islam, berapa ramai antara kita yang sanggup untuk mempelajari definisi dan perdebatan ideologi-ideologi ini, dan tidak hanya mengatakan bahawa ianya mustahil, dan Islam itu sudah syumul dan tidak memerlukan semua perdebatan ini?
Mungkin agak sukar untuk melihat pertailan antara apa yang baru dikatakan oleh penulis dengan isu yang dibawa oleh berita tersebut, tetapi apa yang penulis cuba untuk sampaikan, ialah berapa ramai antara kita yang berani untuk mendepani cabaran-cabaran zaman moden, seperti pluralisme agama, dengan tidak mempertahankan 'sensitivity' dan paranoia kita, dan melihat kepada realiti dan keperluan semasa?
Seringkali penulis mendengar di radio, dan membaca di blog-blog bahawa Palestin itu hak milik umat Islam. Persoalannya, adakah ia hak milik mutlak umat Islam? Dan dengan pemikiran paranoid seperti ini, pemikiran yang semua persoalan tentang sebahagian perkara dalam agama tidak boleh dibincangkan kerana ianya sensitif, adakah kita yakin yang kita boleh mentadbir Palestin dan Jurusalem dengan adil? Andai orang Kristian mahu memperbesarkan kawasan Gereja 'The Holy Sepulcre' mereka, berapa ramai yang boleh mengatakan tiada masalah berbuat demikian? Adakah kita akan terus membenarkan orang Yahudi meneruskan ekskavasi dan kajian bawah tanah mereka? Dengan 'mindset' dan 'worldview' umat Islam yang begitu defensif, paranoid dan tidak proaktif, yakinkah kita bahawa kita boleh berlaku adil sedangkan di Malaysia kita tidak adil kepada masyarakat bukan Islam?
Maka, antara Kinrara dan Palestin terdapat 1 pertalian yang menghubungkan keduanya. Dan pada penulis, kita seharusnya mula membuang prejudis yang tidak rasional kita, dan cuba untuk membuka mata dan minda terhadap apa sebenarnya tuntutan Islam kepada umatnya. Kita sibuk berbicara tentang ketidak adilan keatas umat Islam di Palestin, tidak menyedari ketidak adilan yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang bukan Islam di Kinrara. Bukanlah kita tidak patut kisah kepada Palestin, tetapi elok juga andai kita bermuhasabah tentang cara kita melihat dunia ini.
Wallahua'lam
Bismillahirrahmanirrahim,
Sedang penulis memandu adiknya ke sebuah sekolah di Batu 10 Cheras, terfikir penulis tentang betapa orang Islam selalu melaung-laungkan kebaikan bulan Ramadhan dan kaitannya dengan kemanusiaan di mimbar-mimbar masjid apabila Ramadhan semakin hampir. Sering kali kita mendengar ustaz-ustaz memberi kuliah di surau-surau bagaimana Ramadhan merupakan suatu bentuk tarbiyah Ilahi yang antara hikmahnya ialah supaya kita dapat merasai kepedihan orang yang tidak mempunyai makanan yang mencukupi, dan supaya kita bersyukur dengan apa yang ada. Namun mari kita muhasabah diri kita dan sekeliling kita. Bukanlah niat penulis disini untuk menyangkah seruan dan laungan tersebut, tetapi sekadar muhasabah kepada kita semua akan sejauh manakah kita, sebagai orang Muslim yang mengaku beriman, benar-benar menjiwai apa yang dilaungkan itu.
Ahlan Wa Sahlan Ramadhan Al Kareem. Picture: BahanTarbiyah.info
Kemanusiaan adalah, pada fikiran penulis, sesuatu yang wujud dalam diri manusia secara azali dan dikongsi oleh makhluk ALLAH yang dinamakan insan. Kita semua suka melihat insan lain gembira, kita ketawa apabila melihat orang lain ketawa dan terkesan hati kita apabila melihat kedukaan yang dialami orang lain. Maka sebagai seorang Islam yang mengakui menyembah Tuhan yang sebenar-benarnya seharusnya kita yang mendahului dalam usaha-usaha kemanusiaan dan memulakan inisiatif untuk membantu insan yang kurang bernasib baik. Persoalan disini ialah sejauh manakah kebenaran kata-kata ini? Dan di luar batasan negara-negara Islam, sejauh manakah bantuan yang kita berikan atas dasar kemanusiaan?
Bukan sahaja diluar batasan negara Islam, bahkan dalam negara Islam pun kadang kala kita terlepas pandang, terutamanya pada insan yang bukan seagama dengan kita. Contohnya, Andai kita melihat rumah-rumah dan sekolah-sekolah di estet-estet milik orang
Dimanakah kemanusiaan kita?
Ingin sekali penulis tegaskan sesuatu disini, prinsip dan tindakan adalah dua perkara yang berbeza, dan tidak seharusnya disekalikan. Secara prinsip, pada pandangan penulis, semua orang patut dibantu tidak kira samada ianya Muslim atau bukan Muslim, tetapi kerana kekangan-kekangan yang ada dan kerana kita manusia, maka kita mungkin tidak dapat membantu semua orang. Tidaklah bermakna jika begitu, kita tidak menanam cita-cita untuk membantu semua orang, cumanya kita perlu bertindak berdasarkan keutamaan (Aulawiyat) dan juga dalam kapasiti kita. Oleh itu, soalan-soalan diatas adalah soalan prinsip, bukan soalan tindakan. Secara prinsipnya, berapa ramai antara kita yang melihat orang bukan Islam di Malaysia yang kurang bernasib baik sebagai golongan yang perlu dibantu? Secara prinsipnya, berapa ramai antara kita yang sanggup melepaskan sebahagian daripada kelebihan yang diberikan kepada kita untuk membantu orang bukan Islam?
Ini mungkin sedikit kontroversi, tetapi apa yang penulis ingin bawakan ialah andai kita percaya pada keadilan sejagat, dan andai kita yakin bahawa kita ialah umat yang terbaik yang diturunkan ke muka bumi, mengapa kita tidak seolah-olah mengendahkan nasib golongan bukan Islam, di bumi dimana majoritinya umat Islam? Lihatlah sejarah di Sepayol, umat Islam walau ditekan hebat oleh pemerintah Krisitan di Utara Sepanyol masih memberi perlindungan dan hak kepada golongan bukan Islam, walaupun mereka golongan Yahudi. Malahan, golongan bukan Islam lebih selesa dalam pemerintahan orang Islam. Lihat pula dunia sekarang. Berapa ramai orang bukan Islam lebih rela duduk di tempat dimana orang bukan Islam berkuasa? Berapa ramai orang Islam sendiri tidak selesa di bumi umat Islam, kerana merasa bahawa keadilan yang dibawa oleh Islam tidak dilaksanakan?
Mungkin disini akan ada orang yang mengatakan bahawa itu salah pemerintah Islam yang tidak mengamalkan Islam yang suci, dan mengambil sistem kuffar yang tidak bertunjangkan ‘aqidah untuk menjalankan pemerintahan, tetapi itu, pada pandangan penulis, merupakan perkara cabang, dan terbuka untuk interpretasi masing-masing. Peliknya dalam hal ini ialah tidak ramai orang Islam yang memahami sistem-sistem dan ideologi-ideologi Barat, dan mengkritiknya seolah-olah ianya tiada langsung dalam Islam. Pada pandangan penulis, sikap begini terlalu angkuh, dan seharusnya dikaji semula. Andai Barat betul-betul jahat, mengapa kita melihat Barat yang lebih banyak memberi bantuan kepada orang Afrika? Mengapa kita lihat Barat yang mendahului dalam usaha-usaha kemanusiaan dimana-mana di dunia?
Kesimpulannya, umat Islam, pada pandangan penulis, terlalu banyak berretorik dari bekerja. Jangankan kata hendak membantu orang miskin di Afrika, hendak memberi sedekah lebih dari RM 5 pun susah. Ramadhan merupaka satu bentuk pentarbiyahan, benar, tetapi harus diingat yang ianya juga satu tempoh muhasabah. Kita tidak seharusnya hanya memikirkan diri kita dan menyempitkan diri kita kepada membantu orang Islam sahaja. Dimana-mana terdapat orang yang kesusahan, maka sebagai Muslim, seharusnya kita membantu atau berniat untuk membantu. Kita selalu mendengar kisah Rasulullah menyuapkan makanan kepada seorang buta Musyrik yang selalu mengeji baginda, tetapi, apa yang kita ambil dari kisah ini? Oleh itu, gunakanlah Ramadhan yang akan datang ini sebagai